Rabu, 17 Juni 2015

M U D I K

spion 


Mudik kembali ke udik sungguh membelenggu diri kedalam romantisme hidup yang sering kali melihat spion, gambaran yang lalu masih di udik sana dalam kebersamaan. Mudik adalah sebuah. Ritual mudik selalu diawali dan diakhiri dengan penuh perjuangan dengan bersusah payah. Tak jarang nyawa menjadi taruhannya untuk ritual tersebut. Meski menanggung resiko besar, ritual mudik selalu saja ramai dan menyenangkan untuk menyedot para perantau yang setia agar bersedia merefresh energi  yang kering kerontang seperti dimusim kemarau yang berkepanjangan akibat digilas putaran mesin waktu kehidupan yang terus berputar. Sebuah mesin raksasa yang menjadikan manusia perantau bekerja bagaikan mesin-mesin kecil yang dengan riuh rendah ‘memproduksi’ uang demi memenuhi kehidupan sebuah mesin kecil di tanah perantauan dengan menjual tenaga kejanya kepada pemilik modal (kapital).

Ritual mudik bukan saja terjadi di Indonesia bahkan di China, Amerika Serikat, India pun terjadi ritual ini, mudik sebuah ritual sebuah bangsa Indonesia yang terjadi dalam menyambut hari raya Idhul Fitri bukan saja yang beragama Islam tapi semua orang merayakan ini. Mudik atau pulang ke kampung halaman. Ritual yang mepertemukan pemudik dan orang-orang yang tinggal di udik. Idhul Fitri adalah moment ritual ini di jalankan kembali menjemput rasa kangen. Sebuah momen yang mempertemukan orang tua, sanak saudara, teman dan lawan tanpa memandang jabatan, ras tau pun agama yang ia anut. Di udik sana adalah sebuah tempat yang ingin melepaskan rindu bertemu orang-orang yang lama tak bertemu di waktu selain di ritual mudik ini.
mudik di india foto:internet

Mudik sebuah ritual yang menjalin silahturahmi tapi kini di rebut oleh kapitalisme sebagai sebuah ritual konsumtif yang super gila sebagai ajang momentum pamer yang menggambarkan bahwa dirinya sebuah modernitas yang terlalu dangkal. Membuat mata yang di udik silau akan sebuah pameran konsumtif sebagai etalase pretise belaka. Mereka mepertanggung jawabkan status social dari yang orang tuanya sebagai petani sebagai pekerja yang sukses di perantauan yang merubah status sosialnya.

 Mudik kini adalah sebuah hasrat akan sebuah materi dan gengsi belaka. Itulah kapital (baca:modal) yang merebut ritual mudik yang sebenarnya sesuatu yang sederhana yaitu berkumpul, menjalani hidup dengan kesederhanaan dalam berpijak dengan bijak. Para pemudik adalah seperti kerbau yang dicocok hidungnya oleh kapitalisme sebagai konsumtif yang setia yang di sajikan oleh kapitalisme untuk menumpuk keuntungan dari para buruhnya yang terjerat hasrat konsumtif ritual mudik yang tak terelakan.

UU September 2013
Komazine#16|hujan| Agustus 2014|bukan untuk biadab


Tidak ada komentar:

Posting Komentar