"Siapa bilang bapak dari Blitar? Bapak kitaa dari Prambanan.
Siapa bilang rakyat kita lapar? Indonesia banyak makanan ...mari kita
bergemberia. Bergembira semua..." Bung Karno, bersuka ria –anti nekolim
Siapa bilang bapak dari Blitar ..ehh para tim penulisan
naskah pidato presiden sepertinya masih menjujung tinggi De-Soekarnoisasi jadi ingat enaknya jaman ku
kata para penguasa jaman dulu orde baru yang selalu saja meperbaharui dirinya makanya
selalu saja di sebut orde baru dan selalu saja wangi untuk di kenangnya.penuh
tipu muslihat belaka yang terasa baru sekarang menanggung hutang jamanmu
Soeharto.
Piye bro !! ..orak
enak jaman Mu A..Suharto kata seorang Pria separuh baya yang nampak bersemangat
dan tak kalah gaya perlente dengan generasi sekarang. Di awal bulan Juni yang
panasnya terobati dengan sedikit guyuran hujan membuat Jakarta membaui tanahnya
yang harum, bila tersiram air hujan.
Sepertinya Tak mau
kalah juga dengan anak muda yang terlihat memadati salah bagian plaza barat
senayan dengan slogan bela negaraaa.. dengan nafsu belanja ehh.. konsumtif
ploduk-ploduuk eits produk-produk dalam negeri. Ehh tapi nampak ironis juga di
sisi timur yang sepi pengunjung pada hal sama juga ploduk ehh produk Indonesia juga bro..haha. tapi
kenapa mesti dengan konsumtif padahal sudah mempunyai banyak pakaian hehehe
demi penumpukan kemakmuran modal borjuasi nasional.
Dan siapa bilang bapak dari Blitar? Bapak kami dari Lengkong
…siapa bilang rakyat kita lapar Indonesia banyak singkong, bro.. jadi ngak
perlu panik dengan isu beras plastik buatan pabrik, masih banyak beras buatan
petani lokal. Tapi bagaimkan nasib petani selalu saja di permainkan dengan
harga pupuk mahal dan hasil panen murah jadi teringat seorang petani yang
bernama Marhaen yang pada saat itu bertemu Soekarno . Marhaen adalah petani
yang mengerjakan sawah sendiri (warisan orang tua), memiliki alat produksi
(perkakasan kerja) sendiri , hasilnya untuk menghidupi diri sendiri/keluarga
sendiri (tak ada kelebihan produksi untuk di jual), tidak memperkerjakan tenga
orang lain dan mempunyai rumah gubuk sederhana milik sendiri. Kalau kata
Soekarno Marhean adalah
diskursus klas atau susunan sosial masyarakat Indonesia.
Akan tetapi istilah itu tidak sempit merujuk kepada golongan
petani saja. Di buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung
Karno mengatakan, ia menemukan istilah marhaen pada usia 20 tahun. Artinya, itu
terjadi kira-kira tahun 1921. Bung Karno juga menyebut “tukang gerobak” sebagai
marhaen. Sebab, si tukang gerobak punya alat produksi, tetapi tidak menyewa
pembantu (tenaga kerja) dan tidak punya majikan.
Ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme di
Indonesia. Kata Soekarno, kapitalisme di Indonesia itu, yang dibawa oleh
kolonialisme Belanda, punya kekhususan. Apa kekhususannya?
Ketika Belanda hendak menancapkan kuku-kuku kolonialismenya
di Indonesia, negeri kincir angin itu masihlah terbelakang. Kalau kata Tan
Malaka menyebutnya “negeri tani dan tukang warung kopi yang kecil-kecil.” Jadi,
Belanda sendiri belum merupakan negara industrialis saat itu. Sangat berbeda
dengan Inggris, misalnya, yang sudah berkembang pesat sejak mengalami sebuah revolusi
industri.
Kolonialisme ala Belanda ini membawa dampak. Belanda datang
ke Indonesia berlagak sebagai saudagar. Apa yang terjadi sebenarnya! untuk
memaksakan monopolinya di Indonesia, VOC melakukan pemaksaan dan perampasan.
Mirip dengan sebuah system akumulasi primitif dalam masyarakat pra–kapitalis.
Merampas barang dagangan—khususnya
rempah-rempah–dan kemudian di jual di pasar internasional.
Di jaman cultural stelsel tetap saja begitu. Hanya saja, di
sini kapitalis Belanda sudah mulai menanamkan modalnya di Indonesia. Itulah
mengapa Bung Karno menyebut imperialisme Belanda itu sebagai “finance-capital”.
Namun, sebagian besar kapital itu jatuhnya di sektor
pertanian/perkebunan. Sebagian besar kapital Belanda itu—hampir 75%, kata
Soekarno—hanya menghasilkan onderneming-onderneming: onderneming teh,
onderneming tembakau, onderneming karet, onderneming kina, dan lain sebagainya.
Di Hindia-Belanda (Indonesia), kata Soekarno, yang dominan adalah kapitalisme
pertanian saja.
Perkembangan kapitalisme yang demikian, menurut Bung Karno,
tidak akan menghasilkan klas proletar murni. Hanya menimbulkan system kapitalisme
pertanian ini menghasilkan susunan sosial masyarakat paling banyak merupakan
kaum tani yang melarat.
Sudah begitu, kolonialisme Belanda tidak menghasilkan
konsentrasi dan pemusatan industri modern di kota-kota. Akibatnya, kota di
Indonesia tidak tumbuh sebagaimana layaknya kota-kota di Eropa. Hingga awal
abad ke-20, mayoritas rakyat Indonesia, yakni 70-80%, masih dan teringgal di
daerah pedesaan.
Ini berbeda dengan di eropa. Eropa benar-benar
terindustrialisasi. Terjadi konsentrasi dan pemusatan produksinya di kota-kota.
Ini malahirkan kaum proletar 100%
(murni). Bahkan, klas proletar tumbuh menjadi bagian terbesar di dalam
masyarakat.
Sudah begitu, kata Bung Karno, hasil produksi onderneming
itu dijual di eropa. Akibatnya: ini uang bekerja di Indonesia, menggaruk
kekayaan alam Indonesia, dan dibawa lari ke negeri Belanda untuk dijual di pasaran
eropa, mendapat untung di eropa, untung itu dibawa lagi ke Indonesia, ditanam
lagi Indonesia, untuk mengeruk habis kekayaan alam Indonesia..dan seterusnya
seperti lingkaran setan.
Karena kapital Belanda itu orientasinya hanya untuk ekspor
alias bergantung pada pasar eropa, maka politik kolonial Belanda di Indonesia
tak berkepentingan untuk meningkatkan daya beli rakyat Indonesia. Karena itu,
tidak pula berkepentingan meningkatkan pengetahuan rakyat Indonesia.
Ini sangat beda sekali dengan kolonialisme Inggris di India,
misalnya. Kapitalisme inggris, kata Bung Karno, lebih banyak ke perdagangan dan
pengambilan bahan baku. Imperialisme dagang ini memerlukan pasar. Maka,
imperialisme Inggris di India berkepentingan untuk tidak membunuh daya beli
rakyat India. Imperialisme Inggris juga membiarkan berdirinya sekolah-sekolah
dan Universitas. Lahirlah nama besar: Mahatma Gandhi, Das, Tagore, Tilak, Dr. C. Bose dan Dr. Naye.
Kepeloporan Klas Proletar
Dan inilah gambaran kelas sosial masyarakat Indonesia sebagai
Negara dunia ketiga perkembangan kapitalisme, tidak mengarah pada “Negara industri
yang modern”. Kini yang terjadi malah namanya neoliberalisme justru menciptakan
fenomena “deindustrialisasi”.
Di akhir rezim milireistik orde baru, struktur industri Indonesia
malah menghasilkan pabrik-pabrik yang meperkerjakan 500 orang atau lebih dan
hanya meyerap sepertiga dari total jumlah tenaga kerja. Sedangkan du pertiganya
malah terserap, bekerja di dalam industri skala menengah (20-99 pekerja),
sekala kecil (5-19 pekerja), dan rumah tangga (1-4 pekerja).
Kalau kita melihat data dari BPS, jumlah keseluruhan unit
usaha di Indonesia mencapai 51,262 juta. Dari total unit usaha tersebut,
terdapat 50,697 atau 98,9% adalah usaha mikro, 520.221 usaha kecil (1,01%),
39.657 usaha menengah (0,08%) dan hanya 4.463 usaha berskala besar (0,01%).
Artinya, 99,99% usaha di Indonesia itu
masuk dalam kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Tak mungkin terelakan lagi perkembangan kapitalisme di
Indonesia meningkatkan apa yang disebut sektor informal. Statistik resmi
menyebut angka pekerja sektor informal di Indonesia mencapai 70% saja.
Kategori sektor informal adalah pedagang kaki lima,
perdagangan kecil, perajin kecil, dan pertanian dalam skala kecil. Ini meliputi
keseluruhan sektor perdagangan mikro (asongan, PKL, calo,pengamen dll),
Industri pengolahan mikro (industri rumah tangga, kerajinan, dll), dan
pertanian mikro (petani menengah, miskin, dan gurem).
Artinya, mayoritas rakyat Indonesia sekarang ini sebetulnya
adalah pemilik produksi kecil. Dan, sebagian besar mereka itu, adalah
orang-orang yang membuka usaha sekedar untuk survive atau bertahan hidup dari
gempuran neoliberalisme, hidupnya dalam keadaan koma antara batas kematian dan
kehidupan.
Dalam konteks kekinian istilah marhaen Bung Karno masih
relevan untuk keadaan masyarakat sekarang. Ia masih ampuh sebagai pisau analis
klas terhadap susunan sosial masyarakat di Indonesia. Dan juga masih efektif
sebagai teori politik dalam kerangka menarik sebuah partisipasi mayoritas
rakyat Indonesia ini, yakni kaum melarat dalam menuju masyarakat adil dan
makmur.
Komazine juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar