Selasa, 09 Juni 2015

Kata Siapa Bapak dari Blitar !! Bapak Kami dari Lengkong ..

"Siapa bilang bapak dari Blitar? Bapak kitaa dari Prambanan. Siapa bilang rakyat kita lapar? Indonesia banyak makanan ...mari kita bergemberia. Bergembira semua..." Bung Karno, bersuka ria –anti nekolim

Siapa bilang bapak dari Blitar ..ehh para tim penulisan naskah pidato presiden sepertinya masih menjujung tinggi  De-Soekarnoisasi jadi ingat enaknya jaman ku kata para penguasa jaman dulu orde baru yang selalu saja meperbaharui dirinya makanya selalu saja di sebut orde baru dan selalu saja wangi untuk di kenangnya.penuh tipu muslihat belaka yang terasa baru sekarang menanggung hutang jamanmu Soeharto.

 Piye bro !! ..orak enak jaman Mu A..Suharto kata seorang Pria separuh baya yang nampak bersemangat dan tak kalah gaya perlente dengan generasi sekarang. Di awal bulan Juni yang panasnya terobati dengan sedikit guyuran hujan membuat Jakarta membaui tanahnya yang harum, bila tersiram air hujan.

 Sepertinya Tak mau kalah juga dengan anak muda yang terlihat memadati salah bagian plaza barat senayan dengan slogan bela negaraaa.. dengan nafsu belanja ehh.. konsumtif ploduk-ploduuk eits produk-produk dalam negeri. Ehh tapi nampak ironis juga di sisi timur yang sepi pengunjung pada hal sama juga ploduk  ehh produk Indonesia juga bro..haha. tapi kenapa mesti dengan konsumtif padahal sudah mempunyai banyak pakaian hehehe demi penumpukan kemakmuran modal borjuasi nasional.

Dan siapa bilang bapak dari Blitar? Bapak kami dari Lengkong …siapa bilang rakyat kita lapar Indonesia banyak singkong, bro.. jadi ngak perlu panik dengan isu beras plastik buatan pabrik, masih banyak beras buatan petani lokal. Tapi bagaimkan nasib petani selalu saja di permainkan dengan harga pupuk mahal dan hasil panen murah jadi teringat seorang petani yang bernama Marhaen yang pada saat itu bertemu Soekarno . Marhaen adalah petani yang mengerjakan sawah sendiri (warisan orang tua), memiliki alat produksi (perkakasan kerja) sendiri , hasilnya untuk menghidupi diri sendiri/keluarga sendiri (tak ada kelebihan produksi untuk di jual), tidak memperkerjakan tenga orang lain dan mempunyai rumah gubuk sederhana milik sendiri. Kalau kata Soekarno Marhean adalah diskursus klas atau susunan sosial masyarakat Indonesia.

Akan tetapi istilah itu tidak sempit merujuk kepada golongan petani saja. Di buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Bung Karno mengatakan, ia menemukan istilah marhaen pada usia 20 tahun. Artinya, itu terjadi kira-kira tahun 1921. Bung Karno juga menyebut “tukang gerobak” sebagai marhaen. Sebab, si tukang gerobak punya alat produksi, tetapi tidak menyewa pembantu (tenaga kerja) dan tidak punya majikan.

Ini tidak terlepas dari perkembangan kapitalisme di Indonesia. Kata Soekarno, kapitalisme di Indonesia itu, yang dibawa oleh kolonialisme Belanda, punya kekhususan. Apa kekhususannya?
Ketika Belanda hendak menancapkan kuku-kuku kolonialismenya di Indonesia, negeri kincir angin itu masihlah terbelakang. Kalau kata Tan Malaka menyebutnya “negeri tani dan tukang warung kopi yang kecil-kecil.” Jadi, Belanda sendiri belum merupakan negara industrialis saat itu. Sangat berbeda dengan Inggris, misalnya, yang sudah berkembang pesat sejak mengalami sebuah revolusi industri.

Kolonialisme ala Belanda ini membawa dampak. Belanda datang ke Indonesia berlagak sebagai saudagar. Apa yang terjadi sebenarnya! untuk memaksakan monopolinya di Indonesia, VOC melakukan pemaksaan dan perampasan. Mirip dengan sebuah system akumulasi primitif dalam masyarakat pra–kapitalis. Merampas barang  dagangan—khususnya rempah-rempah–dan kemudian di jual di pasar internasional.

Di jaman cultural stelsel tetap saja begitu. Hanya saja, di sini kapitalis Belanda sudah mulai menanamkan modalnya di Indonesia. Itulah mengapa Bung Karno menyebut imperialisme Belanda itu sebagai “finance-capital”.

Namun, sebagian besar kapital itu jatuhnya di sektor pertanian/perkebunan. Sebagian besar kapital Belanda itu—hampir 75%, kata Soekarno—hanya menghasilkan onderneming-onderneming: onderneming teh, onderneming tembakau, onderneming karet, onderneming kina, dan lain sebagainya. Di Hindia-Belanda (Indonesia), kata Soekarno, yang dominan adalah kapitalisme pertanian saja.

Perkembangan kapitalisme yang demikian, menurut Bung Karno, tidak akan menghasilkan klas proletar murni. Hanya menimbulkan system kapitalisme pertanian ini menghasilkan susunan sosial masyarakat paling banyak merupakan kaum tani yang melarat.

Sudah begitu, kolonialisme Belanda tidak menghasilkan konsentrasi dan pemusatan industri modern di kota-kota. Akibatnya, kota di Indonesia tidak tumbuh sebagaimana layaknya kota-kota di Eropa. Hingga awal abad ke-20, mayoritas rakyat Indonesia, yakni 70-80%, masih dan teringgal di daerah pedesaan.

Ini berbeda dengan di eropa. Eropa benar-benar terindustrialisasi. Terjadi konsentrasi dan pemusatan produksinya di kota-kota. Ini malahirkan kaum proletar 100%  (murni). Bahkan, klas proletar tumbuh menjadi bagian terbesar di dalam masyarakat.

Sudah begitu, kata Bung Karno, hasil produksi onderneming itu dijual di eropa. Akibatnya: ini uang bekerja di Indonesia, menggaruk kekayaan alam Indonesia, dan dibawa lari ke negeri Belanda untuk dijual di pasaran eropa, mendapat untung di eropa, untung itu dibawa lagi ke Indonesia, ditanam lagi Indonesia, untuk mengeruk habis kekayaan alam Indonesia..dan seterusnya seperti lingkaran setan.
Karena kapital Belanda itu orientasinya hanya untuk ekspor alias bergantung pada pasar eropa, maka politik kolonial Belanda di Indonesia tak berkepentingan untuk meningkatkan daya beli rakyat Indonesia. Karena itu, tidak pula berkepentingan meningkatkan pengetahuan rakyat Indonesia.

Ini sangat beda sekali dengan kolonialisme Inggris di India, misalnya. Kapitalisme inggris, kata Bung Karno, lebih banyak ke perdagangan dan pengambilan bahan baku. Imperialisme dagang ini memerlukan pasar. Maka, imperialisme Inggris di India berkepentingan untuk tidak membunuh daya beli rakyat India. Imperialisme Inggris juga membiarkan berdirinya sekolah-sekolah dan Universitas. Lahirlah nama besar:  Mahatma Gandhi, Das, Tagore, Tilak, Dr. C. Bose dan Dr. Naye.


Kepeloporan Klas Proletar

Dan inilah gambaran kelas sosial masyarakat Indonesia sebagai Negara dunia ketiga perkembangan kapitalisme, tidak mengarah pada “Negara industri yang modern”. Kini yang terjadi malah namanya neoliberalisme justru menciptakan fenomena “deindustrialisasi”.

Di akhir rezim milireistik orde baru, struktur industri Indonesia malah menghasilkan pabrik-pabrik yang meperkerjakan 500 orang atau lebih dan hanya meyerap sepertiga dari total jumlah tenaga kerja. Sedangkan du pertiganya malah terserap, bekerja di dalam industri skala menengah (20-99 pekerja), sekala kecil (5-19 pekerja), dan rumah tangga (1-4 pekerja).

Kalau kita melihat data dari BPS, jumlah keseluruhan unit usaha di Indonesia mencapai 51,262 juta. Dari total unit usaha tersebut, terdapat 50,697 atau 98,9% adalah usaha mikro, 520.221 usaha kecil (1,01%), 39.657 usaha menengah (0,08%) dan hanya 4.463 usaha berskala besar (0,01%). Artinya,  99,99% usaha di Indonesia itu masuk dalam kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Tak mungkin terelakan lagi perkembangan kapitalisme di Indonesia meningkatkan apa yang disebut sektor informal. Statistik resmi menyebut angka pekerja sektor informal di Indonesia mencapai 70% saja.

Kategori sektor informal adalah pedagang kaki lima, perdagangan kecil, perajin kecil, dan pertanian dalam skala kecil. Ini meliputi keseluruhan sektor perdagangan mikro (asongan, PKL, calo,pengamen dll), Industri pengolahan mikro (industri rumah tangga, kerajinan, dll), dan pertanian mikro (petani menengah, miskin, dan gurem).

Artinya, mayoritas rakyat Indonesia sekarang ini sebetulnya adalah pemilik produksi kecil. Dan, sebagian besar mereka itu, adalah orang-orang yang membuka usaha sekedar untuk survive atau bertahan hidup dari gempuran neoliberalisme, hidupnya dalam keadaan koma antara batas kematian dan kehidupan.

Dalam konteks kekinian istilah marhaen Bung Karno masih relevan untuk keadaan masyarakat sekarang. Ia masih ampuh sebagai pisau analis klas terhadap susunan sosial masyarakat di Indonesia. Dan juga masih efektif sebagai teori politik dalam kerangka menarik sebuah partisipasi mayoritas rakyat Indonesia ini, yakni kaum melarat dalam menuju masyarakat adil dan makmur.


Komazine  juni 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar