Sabtu, 13 Oktober 2012

9 9 9



Suatu hari rabu yang panas sekali sekitar 35 derajat Celsius ah gila..
Panas terik gersang tersangkut pohon di atas mawar berduri yang indah nan pesona, semak belukar tak akan damai tanpa kesetaraan ekonomi yang menghadang. Sebuah hari yang jarang kita temui, berseri kembar tanggal 09 bulan 09 tahun 2009.

Sesuatu yang tak biasa terjadi yang bertepatan dengan kelahiran presiden di negri yang alamnya rayanya kaya tetapi hanya sekelompok kecil saja yang menikMATI kemakmuran itulah Indonesia. Ada perayaan ada kelahiran, kematian. Ada penguasa dan ada pemberontak dalam kehidupan ini lebih menyenagkan kekuasaan. Sby yang sialnya bertepatan pada hari ultah 9 9 9, hari yang tak biasa di bandingkan dengan hari-hari sebelumnya dimana suasanya sepi menjadi semarak dengan menumpuknya titik-titik kemacetan di jalan dengan memenuhi hasrat untuk berbelanja. Mereka memulai ritual menyambuat hari raya ini dengan berbelanja, sambut dengan konsumtif yeah membeli dengan berlebihan-lebihan itu akan membuat hari raya menjadi hari yang penuh keceriaan dan membut kapitalisme ini terus bernapas, di tengan ekonomi kapital yang sedang krisis

Hari raya ini memberi napas buatan untuk kapitalis segera bangkit kembali ..ahh merayakan hari raya dengan konsumtif ..oh yeah baby. Bantu kapitalisme yang sedang krisis ini segera mati. Ternyata kita malah memberi napas bantuan kapitalisme dengan perayaan agama barunya yaitu konsumerisme.

Yang selalu terjadi menjelang akhir ramadhan; harga cabe naik, barang-barang kebutuhan pokok merangkak, pasar hiruk pikuk, orang-orang berjubel di pusat-pusat pertokoan, terminal penuh, bandara antri, stasiun sesak, lalu-lintas padat, jalur Pantura macet sekian kilometer, dan seterusnya.

 Eforia..!

Barangkali Indonesia adalah satu-satunya negara yang punya tradisi mudik paling ramai. Hari raya di negara-negara lain di rayakan dengan cara yang tidak sesibuk kita lakukan. Lebaran mungkin dimaknai sebagai gong terakhir dari parade panjang ibadah puasa.

Tetapi selalu ada eforia di hari raya seolah ungkapan keterlepasan dari derita yang sebulan lamanya. Bahkan hasrat yang dikekang selama sebulan itu keluar dalam bentuk konsumerisme tanpa batas. Dan tanpa sadar kita melakukanya, ramai-ramai. Adakah itu ekspresi ke-Fitri-an kita atau praktik kelarutan dalam budaya massa?

    “Kembali kepada fitrah”. Ungkapan itu menyiratkan bahwa ada lapisan-lapisan yang menutupi diri dan mata hati kita. Akhirnya membuat kita tak lagi bisa melihat realitas dengan kejernihan mata batin Ia seperti karat yang melapisi besi tua. Karat itu bermacam-macam, misalnya, menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi, meledakakn bom, menggusur rakyat miskin,  mengkonsumsi barang yang sesungguhnya tak dibutuhkan, dan sebagainya. Singkatnya, kita kerapkali mengidentifikasikan diri kita dengan sesuatu yang bukan kita. Karena itu yang kadang kita sebut “aku” sesunguhnya adalah status itu, pretise itu, gengsi itu, jabatan itu, dan popularitas itu.
                                        

Lepas dari Rutinitas

Hampir setiap orang tenggelam dalam putaran hari yang itu-itu saja. Kita seolah-olah seperti dipaksa oleh sebuah sistem yang akhirnya dirasakan sebagai sesuatu yang biasa dan alami. Tak ada ruang sedikit pun untuk menarik nafas panjang. Bagi kelas workaholic rutenya mungkin demikian; bangun pagi, berangkat kerja, istirahat dan makan siang, kerja lagi sampai sore, pulang kerumah, terjebak macet, sampai dirumah diujung magrib, lelah, makelove, tertidur, bangun pagi , berangkat kerja lagi,  begitu seterusnya. Rutinitas itu berputar berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun. Semua itu tak bisa ditolak dalam kehidupan yang bertumpu pada ketepatan dan kepastian ala cara kerja sebuah mesin.

Ketenggelaman dalam kehidupan banal yang demikian menjadikan kita semakin terkikis dari kedalaman jiwa. Rutinitas yang banal itu membentuk kesadaran semu yang terkadang juga dianggap sebagai identitas diri. Kesadaran yang dibentuk oleh kerutinan pasti akan merepresi keinginan-keinginan terdalam yang biasanya disebut ‘makna’. Karena rasionalitas kehidupan modern yang bertumpu pada cara kerja industri melahirkan pola rutinitas layaknya mesin. Yang tidak sesuai dengan kemauan mesin silahkan menyingkir atau terhempas.

Namun di dalam ketenggelaman tersebut sebenarnya ada sesuatu yang menarik-narik  untuk kembali pada diri yang otentik. Rasa bosan yang kadang kita rasakan dan stress yang kerap hingap merupakan bentuk-bentuk gejala dari panggilan jiwa ini. Tetapi tak banyak orang yang betul-betul mendengarkanya dan memenuhi panggilanya. Bahkan tidak jarang keinginan untuk kembali pada yang otentik itu justru dimanipulasi lagi dengan mengumbar hasrat baru.

Konsumerisme terjadi bukan karena barang yang dibeli benar-benar dibutuhkan, tetapi terutama karena barang itu memberi rasa identitas terhadap pemiliknya. Kembali pada fitrah hakekatnya adalah kembali pada diri yang otentik dengan melepaskan balutan-balutan hasrat yang penuh tipu daya yang magis yang membius persepsi akan eksitensi.               

 *edwanov