Suatu hari rabu yang panas sekali sekitar 35
derajat Celsius ah gila..
Panas terik gersang tersangkut
pohon di atas mawar berduri yang indah nan pesona, semak belukar tak akan damai
tanpa kesetaraan ekonomi yang menghadang. Sebuah hari yang jarang kita temui, berseri
kembar tanggal 09 bulan 09 tahun 2009.
Sesuatu yang tak biasa terjadi
yang bertepatan dengan kelahiran presiden di negri yang alamnya rayanya kaya
tetapi hanya sekelompok kecil saja yang menikMATI kemakmuran itulah Indonesia.
Ada perayaan
ada kelahiran, kematian. Ada
penguasa dan ada pemberontak dalam kehidupan ini lebih menyenagkan kekuasaan. Sby
yang sialnya bertepatan pada hari ultah 9 9 9, hari yang tak biasa di
bandingkan dengan hari-hari sebelumnya dimana suasanya sepi menjadi semarak
dengan menumpuknya titik-titik kemacetan di jalan dengan memenuhi hasrat untuk
berbelanja. Mereka memulai ritual menyambuat hari raya ini dengan berbelanja,
sambut dengan konsumtif yeah membeli dengan berlebihan-lebihan itu akan membuat
hari raya menjadi hari yang penuh keceriaan dan membut kapitalisme ini terus
bernapas, di tengan ekonomi kapital yang sedang krisis
Hari raya ini memberi napas buatan untuk kapitalis segera bangkit
kembali ..ahh merayakan hari raya dengan konsumtif ..oh yeah baby. Bantu kapitalisme
yang sedang krisis ini segera mati. Ternyata kita malah memberi napas bantuan
kapitalisme dengan perayaan agama barunya yaitu konsumerisme.
Yang
selalu terjadi menjelang akhir ramadhan; harga cabe naik, barang-barang
kebutuhan pokok merangkak, pasar hiruk pikuk, orang-orang berjubel di
pusat-pusat pertokoan, terminal penuh, bandara antri, stasiun sesak,
lalu-lintas padat, jalur Pantura macet sekian kilometer, dan seterusnya.
Eforia..!
Eforia..!
Barangkali Indonesia adalah satu-satunya
negara yang punya tradisi mudik paling ramai. Hari raya di negara-negara lain
di rayakan dengan cara yang tidak sesibuk kita lakukan. Lebaran mungkin
dimaknai sebagai gong terakhir dari parade panjang ibadah puasa.
Tetapi selalu ada eforia di hari
raya seolah ungkapan keterlepasan dari derita yang sebulan lamanya. Bahkan
hasrat yang dikekang selama sebulan itu keluar dalam bentuk konsumerisme tanpa
batas. Dan tanpa sadar kita melakukanya, ramai-ramai. Adakah itu
ekspresi ke-Fitri-an kita atau praktik kelarutan dalam budaya massa?
“Kembali kepada fitrah”.
Ungkapan itu menyiratkan bahwa ada lapisan-lapisan yang menutupi diri dan mata
hati kita. Akhirnya membuat kita tak lagi bisa melihat realitas dengan
kejernihan mata batin Ia seperti karat yang melapisi besi tua. Karat itu bermacam-macam,
misalnya, menumpuk kekayaan untuk kepentingan pribadi, meledakakn bom,
menggusur rakyat miskin, mengkonsumsi barang yang sesungguhnya tak
dibutuhkan, dan sebagainya. Singkatnya, kita kerapkali mengidentifikasikan diri
kita dengan sesuatu yang bukan kita. Karena itu yang kadang kita sebut “aku”
sesunguhnya adalah status itu, pretise itu, gengsi itu, jabatan itu, dan
popularitas itu.
Lepas dari Rutinitas
Hampir setiap orang tenggelam dalam putaran hari yang itu-itu saja. Kita seolah-olah seperti dipaksa oleh sebuah sistem yang akhirnya dirasakan sebagai sesuatu yang biasa dan alami. Tak ada ruang sedikit pun untuk menarik nafas panjang. Bagi kelas workaholic rutenya mungkin demikian; bangun pagi, berangkat kerja, istirahat dan makan siang, kerja lagi sampai sore, pulang kerumah, terjebak macet, sampai dirumah diujung magrib, lelah, makelove, tertidur, bangun pagi , berangkat kerja lagi, begitu seterusnya. Rutinitas itu berputar berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun. Semua itu tak bisa ditolak dalam kehidupan yang bertumpu pada ketepatan dan kepastian ala cara kerja sebuah mesin.
Ketenggelaman dalam kehidupan
banal yang demikian menjadikan kita semakin terkikis dari kedalaman jiwa.
Rutinitas yang banal itu membentuk kesadaran semu yang terkadang juga dianggap
sebagai identitas diri. Kesadaran yang dibentuk oleh kerutinan pasti akan
merepresi keinginan-keinginan terdalam yang biasanya disebut ‘makna’. Karena
rasionalitas kehidupan modern yang bertumpu pada cara kerja industri melahirkan
pola rutinitas layaknya mesin. Yang tidak sesuai dengan kemauan mesin silahkan
menyingkir atau terhempas.
Namun di dalam ketenggelaman
tersebut sebenarnya ada sesuatu yang menarik-narik untuk kembali pada
diri yang otentik. Rasa bosan yang kadang kita rasakan dan stress yang
kerap hingap merupakan bentuk-bentuk gejala dari panggilan jiwa ini. Tetapi tak
banyak orang yang betul-betul mendengarkanya dan memenuhi panggilanya. Bahkan
tidak jarang keinginan untuk kembali pada yang otentik itu justru
dimanipulasi lagi dengan mengumbar hasrat baru.
Konsumerisme terjadi bukan karena
barang yang dibeli benar-benar dibutuhkan, tetapi terutama karena barang itu
memberi rasa identitas terhadap pemiliknya. Kembali pada fitrah hakekatnya
adalah kembali pada diri yang otentik dengan melepaskan balutan-balutan hasrat
yang penuh tipu daya yang magis yang membius persepsi akan eksitensi.
*edwanov